Tolong matikan adblock dan script blocker Anda untuk melihat halaman ini.

─̶─Jika ingin meng-COPY tolong sertakan sumber :D─̶─


Penerjemah : D.Blank13th


Chapter 2

1x1=Aimless

Part XI


Tidak akan baik untuk tinggal terlalu lama, meskipun Riku dan ShuVi berencana untuk mundur secepatnya.

“Sialan....Mustahil untuk bergerak di dalam benda itu.”

Ketika mereka meninggalkan perpustakaan, atau lembaga misterius itu, mereka bertemu [Badai Kematian]

Ini adalah reaksi yang disebabkan dengan abu hitam dan peningkatan kepadatan abu, menciptakan pusaran fenomena aquamarine.

Jika dimasuki, tak peduli apa jenis tindakan yang diambil, abu yang diresapi dengan tulang Elemental akan menembus pakaian pelindung dan mencemari tubuh manusia.

Mereka berdua hanya bisa mundur kembali ke tempat yang sunyi. “Riku, pada saat, ini...Apa yang kamu, lakukan?”

Bersembunyi di ruangan kecil di tingkat tertinggi lembaga yang sunyi, ShuVi bertanya pada Riku.

“tak ada yang bisa kita lakukan. Menjelajahi gua, reruntuhan dan sejenisnya, jika tidak ada hal seperti itu, kita akan menggali lubang untuk bertahan hidup.”

Riku mendesah saat menjawab begitu. Badai kematian bukanlah sesuatu yang membingungkan. Pengalaman pribadi telah menunjukkan bahwa badai akan berlangsung beberapa jam setidaknya sehari untuk paling lama. Dia sudah mengalami bersembunyi di sebuah lubang sempit selama sehari beberapa kali. Masalahnya adalah─̶─adalah tempat ini lebih aman daripada gua.

“ShuVi tampaknya khawatir, ada apa? Apakah kamu mendeteksi tanda-tanda pergerakan?”

“...Dihalangi, oleh tulang Elemental....Perangkat untuk observasi jauh, tidak mampu...Tidak dapat, digunakan...”

“Un..Maka ini mungkin berarti, tempat ini dianggap aman dalam beberapa cara.”

Yang berarti─̶─berkat [Badai kematian], akan sulit untuk terdeteksi disini.

Tidak ada cara untuk keluar, juga akan berbahaya bagi ShuVi untuk bergerak dengan kecepatan tinggi tanpa kemampuan untuk mendeteksi musuh apapun.

Dengan begitu, Riku berpaling ke arah ShuVi dan bertanya. “ShuVi, apakah kamu membawa set catur?”

"........"

Untuk membawa sedikitnya barang bawaan─̶─ShuVi yang dimintai ini oleh Riku berpikir dia akan disalahkan.

“....Maafkan, aku....”

Seakan ingin menyembunyikan ekspresinya, dia menundukkan kepalanya dan meminta maaf. Kemudian, dia mengambil papan catur dengan ketakutan.

Gerakan ini, seolah Ex-Machina takut pada manusia. Menghadapi situasi ini, Riku tidak bisa menahan senyum.

“Aku tidak akan menyalahkanmu....Karena kita tidak bisa melakukan apa-apa sebelum badainya berhenti, kenapa kita tidak bermain game.”

“?....Apakah, boleh...?”

Sementara terlihat tak terduga dan cukup senang, ShuVi meletakkan pion.

Menatap papan catur, Riku mulai berpikir─̶─rekor antara dia dan ShuVi selama setahun terakhir.

─̶─seratus delapan puluh kalah, nol menang. Jangankan berpikir tentang mengalahkan ShuVi, bahkan imbang tidak terjadi.

Tapi situasi dimana langkah mengejutkan memaksa ShuVi untuk berpikir keras terjadi beberapa kali juga.

Dengan kata lain, dia bukan sesuatu yang [Tentu tidak bisa kalah].

─̶─senyum berani dan tak masuk akal muncul di wajah Riku, membuat ShuVi bertanya.

“Riku, kenapa....Kamu tidak bisa menang, namun...Terus berjuang,?”

“Ha? Pertanyaan yang aneh, bukankah kau yang bilang kalau kau akan memberiku kecerdasan yang kuinginkan jika aku menang?”

“....Pembohong....Riku tidak bisa mungkin....Tidak...Menyadarinya...”

Ya, ini mustahil. Riku adalah sesuatu yang tak tak terlihat. “...Aku...Sudah...Memberi..Semua kecerdasan, yang Riku..Inginkan...”

........

Dengan pengecualian dari kebisingan keras angin, kesunyian muncul. ShuVi lalu berkata.

“...Riku....Sangat kuat, oh....Sangat pekerja keras.” “─̶─kata-kata menghibur tak berguna disini.”

Menariknya, Coron telah mengatakan kata-kata ini sebelumnya, dan Riku menjawab menggunakan kata-kata yang sama.

Percakapan berakhir disini. Riku berpikir, tapi. “....Menghibur?......Salah...Ini adalah, fakta...”

ShuVi membalas, ekspresinya pahit.

Kemudian, seakan melihat sesuatu yang langka, Riku melebarkan matanya.

Itu adalah ekspresi dari tidak tahu harus mengatakan apa, tapi ShuVi melanjutkan.

“...Sekarang, lingkungan planet...adalah mematikan bagi manusia....Tapi untuk bisa bertahan hidup, adalah.....Abnormal.”

Itu adalah kata-kata yang Riku katakan saat dia(Ivan?) mencengkram Riku.

Meskipun kata-kata itu bisa menyakiti Riku, meski demikian, ShuVi melanjutkan sambil gemetar.

“Anomali ini─̶─mengkoreksi, mengeksploitasi....Bisa dicapai, karena Hasrat....[Hati] Riku.”

Berikutnya, menatap mata hitam Riku yang tidak bersinar, ShuVi menyimpulkan. “─̶─terlepas, bagaimana, Riku pikir─̶─ini semua [Fakta objektif]....”

“Ha? Apakah itu berarti, bahwa ini berguna untuk Imanity jika Ex-Machina-sama tetap menjaga kemenangan beruntun melawanku?”

“....Ex-Machina-sama....Bagaimana, Aku tidak tahu...Tapi, aku menilai. Tapi─̶─“ ShuVi serius, dengan pupil seperti kaca merah, menatap Riku dan melanjutkan. “...Riku, kamu tidak bisa menerima, semua ini...”

“Tentu saja, apa gunanya untuk berlama-lama di dunia seperti ini─̶─“ “Tidak....”

ShuVi membantah, menyela kata-kata Riku dan melanjutkan. “....Kamu sendiri, mungkin....belum menyadarinya...” Menatap mata Riku, ShuVi menegaskan.

“...Riku, terlepas dari siapa...Kamu tidak ingin ada dari, mereka mati....Kamu, berdoa....Terlepas dari siapa. Bahkan jika, itu adalah keberadaan yang akan menghancurkan manusia─̶─bahkan jika, Aku.”

“─̶──̶──̶─!!”

Wajah Riku terdistorsi.

ShuVi tidak tahu mengapa Riku tidak membunuhnya dari sebelumnya.

Dia tidak dapat menilai perilaku dan tindakan Riku, dia masih tidak bisa mengerti.

Tapi justru karena ini, dia bisa menegaskan.

“.....Itulah [Hati]..Aku, berspekulasi...Pasti.” “"......"”

Menghadapi Riku yang diam dan menundukkan kepalanya, ShuVi melanjutkan. “Aku menegaskan....Riku, sangat kuat....Tapi, Riku, tidak bisa menerima.”

Benar, dan untuk mengatakan mengapa.

“...Karena kamu tidak ingin menerima...Karena kamu tidak bisa, mengidentifikasi dirimu....”

─̶──̶──̶─

─̶──̶──̶──̶──̶─

Di ruangan dimana suara angin bisa terdengar, sebuah tawa keluar. Riku perlahan mengangkat kepalanya, mendorong pipinya menggunakan tangannya.

─̶─menggunakan mata yang mencerminkan sosok ShuVi didepannya, Riku perlahan mengatakan.

“Kau, aku sangat marah ah....Untuk seseorang yang penuh teori menjadi semerepotkan ini...” “Maafkan, aku.”

“...Jangan minta maaf...Ini hanyalah orang bodoh yang marah pada dirinya sendiri....” Ya, seolah menyemburkan jiwanya, Riku mengakui.

Ahhh, secara harfiah adalah arti dari [Buka ditutup].

Tak ada ruang untuk menyanggah, dia memiliki perasaan dimana dia bahkan tidak merasa ingin berbicara.

[Kunci] di dalam hatinya dibuka paksa, menyedihkan untuk mencoba dan berani melalui hal-hal sekarang.

“Ahh, ya, itulah masalahnya. Aku tidak ingin diakui oleh siapapun, seseorag sepertiku yang seperti kotoran anjing...”

Melanjutka untuk melarikan diri dari takdir....Apa yang bisa itu lakukan?

Namun, pada akhirnya, apa yang bisa kulakukan!?....

Riku bersandar ke dinding dan menatap langit-langit. Dia berbisik seolah bertobat.

“...Oi, jadi pada akhirnya apa yang harus kulakukan, apa yang bisa aku lakukan untuk memaafkan diriku sendiri?”

Dia terus menyerah pada kemenangan karena dia hanya seseorang yang tidak bisa mengorbankan kehidupan yang berharga untuk menyelamatkan orang lain.

Untuk menyelamatkan dua orang, satu harus dibunuh, untuk menyelamatkan empat orang, dua harus dibunuh.

Berpikir bahwa ini adalah satu-satunya cara, bentuk dari menyamarkan dirinya.

─̶─berulang kali melakukan hal semacam ini, bagaimana bisa dia diakui? Melihat bagaimana Riku secara memalukan mempertanyakan dirinya, dia melanjutkan. “Inilah apa yang ingin aku pahami....[Hati] Riku, bagaimana...menjawabnya...” “─̶─haha, justru karena aku tidak tahu aku bertanya padamu....” Riku merendahkan pandangannya sambil tertawa hampa, tapi ShuVi melanjutkan. “Tak peduli apa jawabannya....Aku akan...Membantu....”

“....Kenapa...”

ShuVi secara gamblang menjawab pertanyaan ini secara alami.

“Aku pernah berkata...Sebelum aku memahami [Hati]...Aku akan, menemanimu...”

─̶─haha.....Ini, benar-benar bisa diandalkan.... “Karena itu...”

*pata*, menggerakkan bidak di papan catur, ShuVi mengumumkan. “.....Skakmat.”

“ShuVi...Di sini, setidaknya harus seri kan, untuk atmosfernya. “ “".....?....Kondisi udara....? Apa yang salah....?”

Dengan jawaban yang sama seperti biasa, Riku memandang ke luar jendela sambil menunjukkan senyum.

Tidak tahu kapan, badai sudah berhenti.

Melihat k bawah dari jendela, mereka melihat bunga-bunga berwarna-warni  mekar tidak terpengaruh oleh badai kematian, seolah-olah di bawah perlindungan dari [Dewa Hutan].

Mungkin juga dikatakan, pemandangan dimana kelopak bunga menari di ruangan tidaklah nyaman, tapi─̶─

“....Indah....”

Riku memandang ke arah orang yang mencuri kalimatnya.

Gadis Ex-Machina yang dia rasa lebih manusia daripada dia, matanya mengejar kelopak yang menari di udara.

Sepasang mata crimson yang bersinar jelas menangkap segalanya yang terlihat. “─̶─ShuVi.”

Menghadapi gadis yang perlahan menoleh ke belakang, Riku mengajukan pertanyaan yang hentikan dulu─̶─

“─̶─katakan padaku. Katakan padaku tujuan perang ini dan bagaimana menghentikannya.”

─̶─Part XI END─̶─


Prev | ToC | Next