Tolong matikan adblock dan script blocker Anda untuk melihat halaman ini.

—Jika ingin meng-COPY tolong sertakan sumber :D—


Penerjemah : D.Blank13th


Chapter 4

1÷1=Companionless

Part IX


Game-nya sudah berakhir, ShuVi telah mati.

Setelah menerima laporan para [hantu] dan berpura-pura tegar, kembali ke kamar adalah batasnya.

Didepannya adalah meja kosong, dia menggerakkan bidak sendiri dimana dia dan ShuVi memainkan catur bersama berkali-kali.

Di masa lalu, yang sangat sangat jauh, seperti yang dia lakukan ketika masih kecil. Game yang sudah pasti tidak dapat dia menangkan—

Sambil menggerakkan bidak-bidak dia melihat ke kursi kosong didepannya.

Bahkan jika kewarasannya dipertanyakan, mau bagaimana lagi jika itu bisa dilihat—Sudah kuduga itu disana seperti dulu.

Seorang pemuda dengan sebuah senyum tak kenal takut—yang ShuVi bilang bahwa dia percaya, Dewa Game ada disana.

“Hey…kenapa, aku tidak bisa menang, aku heran…”

Kepada pemuda yang pasti tidak akan menjawab, dia terus bertanya.

“aku piker kali ini aku pasti akan menang…bersama dengan ShuVi—dengan semuanya, aku piker aku dapat menang.”

—<Aturan 2>Tidak ada yang harus diizinkan untuk mati.

—<Aturan 6>Apapun yang menentang hal diatas, akan dianggap sebuah kekalahan. “Kenapa, aku tidak bisa menang—Aku bertanyaaaa…!”
Itu benar, dari titik bahwa aturan itu ditentang game ini sudah berakhir—sekali lagi, aku kalah.

Terlebih lagi bahkan ShuVi—

“Apa…yang kurang…beritahu aku—!! Hey, kau disana kan!!?”

Riku bertanya kepada kekosongan dengan sangat serius, hingga jika ada yang melihatnya, pastinya dia akan berpikir bahwa dia akhirnya menjadi gila.

Dia berteriak kepada pemuda yang duduk didepannya—kepada sang Dewa Game.

Pemuda itu tidak menjawab. Tapi—itu terasa seperti dia menghapus senyumnya, dan merendahkan kepalanya.

“Hey, aku mohon padamu…sekali saja, apa aku tidak diizinkan untuk menagn, bahkan sekali saja? Kalau begitu—“



“KALAU BEGITU KENAPA—KAU MEMBERIKU (MANUSIA) [HATI]?!!”

—[Hati] yang ShuVi inginkan, dan dia bukakan.

Tapi sekarang, tanpa dapat melihat arti dari itu, dan dengan tubuhnya yang berderit, Riku berteriak.

“Aku tidak tahu Dewa sialan mana yang menciptakan manusia, tapi! Jika hanya untuk hidup didunia ini untuk kalah kalah dan tetap kalah dan dengan sabar dibunuh dan meratapi hanya untuk kalah lagi—kalau begitu kenapa sesuatu seperti [hati] ada, jawab akuuuuu!!!”

Setelah berteriak seolah berpegang erat dengan tubuh goyah—

“Hey, kau disana kan, aku tidak tahu siapa kau tapi, kumohon jawab aku—aku mohon padamu…!”

—Dan, tidak ada jawaban.

Bukan berarti dia mengharapkan sebuah jawaban di akhir, namun tubuhnya sudah babak belur dari awal.

Sambil hancur, setelah teriakannya menyebar dan jatuh seolah bersandar di punggung kursi, dia melihat peta pasukan.

—Situasinya samar-samar diurutkan.

Membuat semua ras waspada pada satu sama lain, dan membuat scenario [Artosh Camp] melawan [sisanya] berhasil.

Tapi “sesuai rencana”—salah satu dari mereka pasti akan, merencanakan serangan pendahuluan.

—Jika rencana dibuat oleh [persekutuan] pertama, ini akan jadi stalemate hingga [Aliansi Elf] dan [Aliansi Dwarf] menemukan metode untuk meniadakan [kartu as] masing-masing, Arka-shi-anse dan Zuibaku.

Bahkan jika mereka tetap saling tatap untuk waktu yang lama, dalam sepuluh tahun tubrukan sempurna akan dimulai, dan Artosh Camp pasti akan kalah.

Dan setelahnya, kali ini Elf dan Dwarf akan saling tembak—hingga salah satunya binasa.

Sekarang Artosh Camp dalam posisi yang menguntungkan—karena mereka memiliki [Divine Strike]. Tapi [persekutuan] itu tidak akan mengambil sebuah formasi yang akan membuat mereka binasa dengan sebuah [Divine Strike] juga. Dan Artosh yang berlebihan menggunakan kekuatannya akan melemah sementara—dan akan membuatnya menggunakan kekuatan Avant-Heim untuk bertarung. Itulah target [Persekutuan].

Tidak peduli sekuat apa Phantasma itu, Arka-shi-anse adalah Pembunuh Phantasma, dan Zuibaku adalah Pembunuh Old Deus. Jika serangan pendahuluan datang dari Artosh Camp maka tidak ada kesempatan menang untuk Artosh.

—Atau begitulah [persekutuan] dibuat untuk berpikir, tapi kenyataannya berbeda. [Divine Strike] Artosh itu—sebuah pengukur untuk mengundang senjata api seluruh pasukan.
Itulah sebabnya hasilnya adalah Artosh Camp dan [koalisi]—menghancurkan satu sama lain.

Dengan kata lain tidak ada [kemenangan] yang akan datang dari serangan pendahuluan Artosh Camp.

Paling lama—[sepuluh tahun]…perang akan berhenti.

—[sepuluh tahun]. Itu benar, [sepuluh tahun].

Itu adalah apa yang seratus tujuh puluh Sembilan [hantu], pertaruhkan segalanya, meninggalkan segalanya selain hidup mereka—dan kemudian.

Itulah apa yang dia dapat dari kehilangan ShuVi, paling banyak, bahkan jika kau lihat jangka panjang, stalemate sepuluh tahun belaka.

Tiba-tiba, dia merasa mendengar seseorang berkata.

—Sepuluh tahun kedamaian. Bukankah itu cukup? Itu seperti, kau sudah berhasil? “……..”
—Hanya dengan tubuh seorang manusia, melawan Dewa, kau membuatnya menghentikan perang untuk sepuluh tahun lho?

“……..”

—Bukankah itu cukup, bukankah itu sudah lebih dari cukup. Lebih seperti, itu sudah lebih dari cukup baik, tahu.

———Kupikir ini layak untuk disebut sebuah [kemenangan] kau— “—……Apa kau sedang bercanda denganku?”
Apakah itu suara orang lain, atau alasan dari lubuk hatinya?

Yang manapun itu, Riku meraung—dengan sebuah suara yang terdengar seolah kerongkongannya meledak.

“Mempertaruhkan semua yang manusia miliki! Kehilangan ShuVi!! Hanya untuk beberapa kedamaian remeh untuk sementara waktu seperti sepuluh tahun dank au bilang itu layak untuk disebut kemenangan!!? Dan setelah itu apa!? Itu akan menjadi sebuah dunia yang hidup dalam rasa takut akan kematian sekali lagi apa kau sedang mengigau!!! Itu bahkan tidak jadi sebuah draw—skalanya masih belum seimbang sedikitpun!!”

…………..

Satu-satunya jawaban adalah kesunyian, dan pemuda yang dia lihat beberapa saat lalu, sudah tidak ada lagi disana—

“…haha, aku, sudah benar-benar tidak berguna, kan…”

Tidak ada ShuVi ataupun Coron disisinya, dan game-nya juga, sudah berakhir.

Kalau begitu—tidak perlu lagi berpura-pura kuat, kan.

Setelah tersenyum pahit dan menyadarinya—aah itu benar, seluruh tubuhnya kesakitan.

Kulit yang terkonstaminasi oleh tulang elemental, memberi rasa sakit yang tak berhenti. Dia bahkan tidak bisa mengingat lagi kapan terakhir kalinya dia dapat tidur nyenyak. Bahkan meminum air saja sudah cukup untuk membakar tenggorokannya. Pandangan sempitnya juga, jika dia kehilangan focus dia merasa matanya akan menutup untuk selamanya.

—Aah itu benar. Aku menyadarinya…sekali lagi—Aku kalah.

Pada akhirnya ini adalah sebuah hidup yang tidak dapat menang meski hanya sekali—Aku sudah lelah.

Jika ShuVi disini, aku merasa aku dapat terus hidup di dunia seperti ini.

Dengan berbicara dengan ShuVi, dengan melihat wajahnya, dengan menggenggam tangannya; bahkan rasa sakit ini akan terlupakan.

—Tiba-tiba, dia mengingat kata-kata ShuVi.

[…Aku tidak akan, membiarkanmu mati…Riku akan…hidup…hingga ShuVi, mati…] Aah itu benar. Jika ShuVi mati maka aku sudah tidak apa kan?
Bersandar saja di punggung kursi dan meninggalkan tubuhnya, lepaskan kekuatan dari otot-otot dan dengan begini…. Seolah rasa ngantuk…datang…

————………

“—Willer[Orang dengan Kehendak] Riku.”
(TL Note: Ditulis ã‚· ュピー ラー –dibaca Shupiiraa, tapi kanjinya dibaca “Orang dengan Kehendak”, dalam bahasa Jerman adalah eine mit willen. Saya tetap tulis Willer seperti di Inggrisnya, kalau tahu yang lebih baik dan nyaman dibaca tolong tulis di kolom komentar.)

Kesadaran yang jatuh dipanggil kembali ke tempatnya, bersama jiwa yang jatuh bersamanya.

Dia dengan lamban berbalik, kepada suara yang familiar, namun belum pernah terdengar—suara yang seperti mesin.

Sebuah sosok berjubah hitam, seperti bayangan berdiri disana; dia masuk dari mana dan sejak kapan dia disana?

“…..Siapa kau?”

—Kau itu apa, dia tidak akan bertanya.

Bahkan tidak perlu menanyakannya. Apa yang dia lihat dari celah jubahnya berbicara dengan jelas.

Sebuah tubuh dari mesin—itu bukan ShuVi—sebuah Ex-Machina.

“…Aku tidak memiliki nama tapi, kalau harus disebutkan—Aku akan menamai diriku Eintihi[Komandan dari Semua Unit Terhubung].”

Ada urusan apa kau—ketika Riku akan menanyakan itu sambil waspada,

“—Aku datang untuk memenuhi warisan, yang dipercayakan oleh Player[Unit Warisan] ShuVi.”

Didahului, lelaki Ex-Machina—Eintihi mengatakan itu, dan mengulurkan tangannya.

Setelah menerima apa yang diberikan—Riku diam-diam, menjadi kaku.

Lingkaran perak kecil. Kotor dan sudah berubah—namun tanpa diragukan lagi itu adalah cincin ShuVi— “—Willer Riku, masih, belum kalah.”
“…Ap,a?”

Kepada Riku yang masih diam, lelaki Ex-Machina—Eintihi berkata dengan acuh tak acuh.

“———Dalam <Aturan> yang Willer Riku kembangkan, fakta kehilangan alat tidak akan diterima dan tidak termasuk.”



—Dalam sekejap, Riku mengepalkan tinjunya seolah ingin memukul wajah itu.

Istriku—ShuVi—mengacu dirinya sebagai alat, kau benar-benar berani melakukannya. Baik Ex-Machina atau apapun aku tidak peduli tapi Cuma orang ini—!!

Saat mengayunkan tinjunya seperti itu, didalam tinju yang dikepalkan—sensasi didalamnya membuat tubuhnya membeku.

Eintihi bilang, mempercayakan warisan.

Di cincin yang dipercayakan pada Riku, isinya berbicara sesaat.

—“Pikir seperti itu”. Jika dia berpikir seperti itu—

“Jika aku berpikir seperti itu—fakta telah kehilangan karena kekalahan ShuVi, akan hilang…maksudmu?

…………………Jangan bercanda.

Untuk Riku yang mengatakan itu sambil melihat kebawah, Eintihi berkata.

“—Pesan yang Direkam [*Cek*…Riku…sisanya, Aku serahkan padamu—] —Berakhir.”

“…Cuma, itu?”

“————————————————Itu benar.”

Riku yang tersenyum pahit menggerakkan pandangannya, dan sekali lagi melihat sosok pemuda di kursi kosong.

Mulut pemuda itu bergerak—“Game-nya masih belum, berakhir.”—dia bilang. “Haha…itu kejam, ShuVi…cara main itu sangat kejam…”
Riku mengeluarkan tawa kosong mengangkat ke langit, seolah menahan sesuatu.

—Ah, sudah kuduga [hati] itu sangat tidak menyenangkan. Kenapa kau, menginginkan hal seperti ini…
…Kau akan mempercayakan peran seperti ini dari semuanya padaku—

Kelemahan itu hampir bocor keluar, namun Riku hampir berhasil menahannya. Dan kemudian setelah dia memegang cincin itu—Riku membacakan, mantera yang sudah lama terlupakan.



Jika itu adalah [Warisan] ShuVi…harapan dari [hati] ShuVi, maka.

Jika ShuVi mengatakan itu, ini adalah satu-satunya metode tersisa, untuk berdiri lagi dari awal maka—

Sebagai suami aku tidak bisa apa-apa selain percaya dan menjawabnya kan…bahkan jika ini cukup menyakitkan hingga membuatku hancur.

—ShuVi yang mempercayakan harapan ini. Dia pasti sudah menahan membenci dirinya sendiri lebih besar dari ini.



Itulah sebabnya aku berani melakukannya—untuk apa yang ShuVi hancurkan.

Pada akhirnya, hanya sekali lagi—Aku akan menggantinya, sangat tegas.



———,——————*klik*.

—Part IX END—


Prev | ToC | Next